Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu
berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat
kebaikan? Beliau bersabda, "Ibumu." Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau bersabda, "Ibumu." Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau
bersabda, "Ibumu." Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda:
"Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat." (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits itu selalu tertanam dalam hati ini, namun sosok ibu yang
mendidikku bukanlah ibu yang ‘kege-eran’ dengan kalimat indah itu.
Beliau selalu menasehati kami untuk bersikap adil dan jujur dalam
kegiatan sehari-hari, termasuk saat memposisikan diri berdiskusi di
depan ayah dan ibu, tak melulu harus menaati bulat-bulat perintah ayah
dan ibu, apalagi jika kami memiliki alasan dengan sudut pandang
berbeda—orang tuaku sangat menghargai masukan dan ide dari anak-anaknya.
Jadi, kalimat bahwa "Saya sekarang adalah ibu, yang harus selalu
terus belajar tentang kesabaran dan keikhlasan, terutama belajar dari
anak-anak sebagai amanah dari Rabbku", bukanlah sebait kata
yang baru muncul di era modern ini, melainkan sebuah kalimat yang
merupakan warisan turun-temurun, sosok ibuku adalah salah satu ibu yang
mewariskan kesejatian resapan makna kalimat itu.
Ibuku tersayang, dulu di usia ke enam tahun, saya menangis
terus-terusan, di rumah, di taman, di sekolah, hingga para guru dan
teman-teman bertanya ada apa gerangan? Jawabku, "ibuku di rumah
sakit, hu..hu…hu…." kenapa saya tidak boleh ikutan berada di rumah
sakit, begitu pikirku. Namun ternyata tiga hari dari situ, saya dan
kakak-kakakku diajak menengok ibu, namun hanya mengintip dari jendela
ruangan, ternyata ibu sehat-sehat, perut gendutnya sudah rata, dan
keesokan harinya beliau pulang ke rumah bersama hadiah baru buat kami,
yaitu adinda yang jelita. Lucu sekali, dulu saya benar-benar tak
mengerti akan hal itu, dan memutuskan untuk mejadi pengamat saja.
Kuamati betapa telatennya ibu menimang, mengganti popok, menyusui adik.
Dan berarti waktu saya masih bayi, sebegitu pula merepotkan ibu.
Peristiwa bergulir setiap hari, dan ibu selalu ada di sisi ini. Al-Ummu
Madrasah (ibu adalah sekolah), benar-benar hal itu telah kualami
sendiri. (maafkan jika ada teman yang jadi cemburu akan kebahagiaanku
ini), bahkan ibuku sendiri tak mengalami kebersamaan yang lama dengan
ibu kandungnya. Nenekku meninggal dunia tatkala ibu masih balita. Dan
saya tahu beratnya hari-hari ibu sepeninggal almarhumah, ibu melalui
masa-masa penjajahan, juga masa saat komunis berjaya, untungnya
pemuda-pemuda kampung beliau sangatlah cinta pada Islam, masih menjaga
dan memagari diri dari jeratan paham komunis. Namun di dua kampung
sebelahnya, setiap malam ada ‘pesta neraka’, begitu cerita ibu,
laki-laki dan perempuan membuka busana dan menikmati minuman keras.
Sehingga orang kampung tersebut tidak diizinkan memasuki kampung ibu.
Ibu menceritakan segala hal padaku, mendongeng sebelum tidur,
menemani belajar malam, dan di tiap sela waktu berbelanja, atau saat
bepergian selalu ada saja ilmu baru yang beliau sampaikan. Ibu pernah
menjalani hari bersama beberapa ibu tiri, ibu asrama yang super cerewet,
juga dengan bibi yang kurang berakhlaq baik. Namun semua orang itu
menyatakan salut dan bangga akan kesabaran dan keuletan ibuku saat
melalui hari bersama mereka. Bahkan sebelum saya menikah, ayahku sendiri
yang mengatakan terus terang, saat itu ayah dan saya hanya bercakap
berduaan, “Ibumu adalah favorit. Ibumu adalah mbak favourite, adik
favourite, mantu favourite… semua orang dalam keluarga besar kita selalu
mem-favouritekan beliau”, seolah ayah mengiringi pesan agar
mencontoh ibu bila ingin dicintai seisi keluarga.
O, ibu… Puji syukur pada Allah SWT, engkau ada di sisiku hingga
mengantarkan diri ini menjadi seorang ibu pula. Ibu, bukan guru kelas 1
SD yang mengajariku Alphabet ABC pertama kalinya, melainkan engkau, bu…
Bukan pula para ustadzah di masjid yang mengajariku alif, baa, taa,
melainkan engkau bu… Di era 80-an, para tetanggaku banyak yang memiliki
anak banyak, dan sejujurnya ada rasa salut pada semua ibu tetanggaku
itu. Bayangkan, ada yang punya anak 20 orang, tapi sekarang anaknya
semua jadi orang sukses! Ragam profesi sang anak, dokter, pengusaha,
insinyur, bahkan menjadi gubernur, dll. Ibuku juga pernah berdiskusi
pada kami anak-anaknya, di zaman ini sudah berbeda, sebagai contoh media
massa, elektronik, kecanggihan teknologi yang memiliki sisi mudharat
pula, bisa mengakibatkan hancurnya keluarga kecil yang ‘hanya punya
anak dua’. Banyak contoh nyata di lingkungan sekitar kita. Sehingga ibu
menyarankan untuk benar-benar mengoptimalkan peran sebagai orang tua
yang telah diamanahi anak-anak olehNYA.
O, ibu… Keenam anakmu telah berjauhan, barulah sekarang saya mengerti
kalimat kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah,
untuk menikmati masa bersama ibu, kami anakmu harus mengatur jadwal cuti
dulu! Hiks, padahal dulu waktu kami kecil, ibu selalu ada di sisi kami
ini. Ibuku multitalenta. Ibu yang membuat baju-baju kami sendiri, semua
bajuku dan kakakku sedari bayi sampai usia kanak-kanak, ibulah yang
menjahitnya. Bahkan saat kami sudah dewasa, terkadang dijahitkan baju
pula olehnya. Kalau lem-ku untuk kerajinan tangan habis, ibu membuat lem
sendiri dengan tepung. Lem memang sering habis karena sejak SD hingga
SMU saya memiliki ribuan sahabat pena, lem dipergunakan untuk membuat
kartu-kartu dan amplop.
Ibu bisa memasak semua jenis makanan, terutama pempek kapal selam
kesukaan kami. Ibu rajin membuat kudapan, maklumlah anak-anaknya doyan
makan. Tangan ibu bagiku adalah super hebat, lebih dari sekedar tangan superwoman
yang di film kartun itu! Tangan beliau yang hanya dua, namun
menguruskan isi perut anggota keluarga berdelapan, bekal-bekal kerja
ayah dan bekal makan siang kami di sekolah, ibu yang menyiapkannya. Saat
kakak-kakak sudah lebih besar, ibu ajarkan untuk membantu beliau
mengoordinir para adik, subhanalloh ibuku pandai ‘ilmu
management!’ Ibu yang mengajari kami membaca qur’an dengan tartil,
menghafal juz amma sedari balita, dan kalau kami sudah khatam
qur’an, ibu akan membuat nasi komplit dengan lauk yang enak serta
dibagi-bagikan pula pada tetangga.
Kalau keadaan perekonomian kurang baik, maklumlah saat semua anak
harus sekolah dan les tambahan sementara gaji ayah pas-pasan, dulu ibu
turun tangan menjajakan kue-kue di beberapa kedai, menerima pesanan
makanan, dan jahitan busana muslim, walhamdulillah hal ini
sukses besar. Dan ayah sendiri yang meminta ibu untuk berhenti jualan
setelah beberapa lama kemudian karena melihat betapa padatnya jadwal ibu
dan tentulah khawatir keletihan. Ibuku pandai menyesuaikan diri dalam
kondisi apapun.
Walaupun kami pernah bandel, misalnya saat saya dan kakak bersembunyi
di bawah kolong tempat tidur karena tidak hafal suatu surat dalam
Al-Qur’an dan takut ‘disabet rotan’, maka ternyata hingga sore ibu
bukanlah marah… melainkan beliau menangis tersedu-sedu karena
mengkhawatirkan kami, oh, ibu… padahal kami di kolong tempat tidur,
sibuk makan biskuit tanpa memperdulikan kekhawatiranmu. Contoh lain saat
kakakku berantem dan nilai sekolahnya merosot, ibu tetaplah dengan
lemah-lembut memberikan nasehat. Sikap-sikap lembut ibu serta
kesabarannya bagi kami adalah ‘ketegasan sejati’, ‘ilmu psikologi’ yang
hadir dari cinta sejati seorang ibu!
Ibuku tak pernah sekali pun mengatakan, "masa’ sih kamu gak bisa…?",
walaupun secara fakta banyak hal yang saya tidak bisa, dalam arti tidak
memiliki keahlian sehebat dirinya. Saya tidak bisa menjahit baju-baju
buat cucumu, ibu… namun kata ibu, "yah, zaman sekarang kan baju-baju
yang dijual tuh lucu-lucu, harganya juga murah meriah, gak apa-apa beli
aja, nak…", dengan ringannya kalimat itu menghiburku. Saya tidak lincah
di dapur, kalau motong-motong —sering terkena pisau, kalau menggoreng—
sering terpercik minyak, motong bawang—banjir air mata, mengupas sayur
dan buah pun ‘acak-acakan’, selain itu memang ada rasa takut melihat
beberapa benda di dapur, namun ibu menyemangati, “Semua bisa dipelajari…
pelan-pelan aja, trus kan sekarang juga sudah ada alat pemotong bawang,
alat-alat memasak sudah banyak yang modern, yang penting masaklah
dengan bumbu cinta, pasti enak deh…”, dan memang kenyataannya apapun
masakanku, laris manis dihabiskan oleh semua anggota keluarga, Alhamdulillah.
Ooh, ibu… saya paling ingat akan nasehatmu, bahwa seorang ibu
memiliki posisi penting dalam kemajuan generasi. Ibu dan ayah adalah
teman sejati yang bekerja sama menuju keridhoanNYA, ayah mengurus
hal-hal di luar rumah, ibu mengatur hal-hal di dalam rumah, namun
seringnya ada peristiwa-peristiwa yang juga mengharuskan ayah atau ibu
saling membantu urusan keduanya. Salah besar jika ada orang yang
mencemooh profesi full-time mom. Sosok tersebut memang harus
selalu mondar-mandir dapur, sumur, kasur, namun pernahkah kalian
terbayang bahwa ketiga tempat itu memang tempat paling nyaman dalam
rumah tangga? Ibu harus menjaga halalan thoyyiban segala jenis
makanan di dapur, nantinya akan dimakan oleh seluruh anggota keluarga.
Salah satu efek jika dapur tidak terjaga kehalalannya, ingatlah
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram,
kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR At Tirmidzi)
Ibulah yang mengatur keuangan keluarga, ternyata ibuku juga ‘akuntan’
yang baik. Kalau urusan sumur, alias cucian tidak beres, baju sekolah,
baju kantor ayah, dll, pastilah tidak rapi. Penampilan ayah dan
anak-anak yang rapi, bersih pakaian sedari topi atau kerudung hingga
kaos kaki dan sepatu, semua jadi kinclong bersinar karenamu, ibu.
Ruangan kamar mandi harus rajin disikat, disiram pembersih agar
bakteri-bakteri kabur, betapa pentinganya ‘sumur’ mejaga kesehatan
keluarga. Kadang-kadang kami malas membantu ibu, maafkan kami yah bu…
Dan saat telah menjadi seorang ibu, betapa Saya merasakan ‘beratnya’
tugasmu, duhai Ibu…
Urusan kasur alias ruangan kamar yang jadi tempat ternyaman buat
seisi keluarga melepas lelah pun diperhatikan dengan teliti oleh ibu.
Ruang kamar harus selalu bersih, harum, rapi terutama dibereskan sebelum
tidur dan saat bangun pagi. Dahulu seprai kasurku sering terkena
coretan pena dan pensil, sebab saya hobi mengerjakan Pe-Er di kasur,
sering tak sengaja menumpahkan minyak angin atau tinta pula, dan ibu
dengan cekatan membersihkannya. Salut padamu, duhai ibu, sementara saya
saat ini mengandalkan ‘jasa laundry’ kalau kesusahan mengurusi
kain-kain kotor. Dan ibu berujar, “baguslah… kan kalau jaket dan jas
memang lebih baik di-laundry, seprai dan selimutmu juga tebal-tebal,
dananya juga ada, hitung-hitung khan bantuin tukang laundry juga dalam
mencari rezeki…”, tak pernah habis kutulis tentang sosok
beliau, sebab sosok ibuku adalah pengukir hidupku, sentuhan cintanya tak
dapat kurangkum melalui kata-kata belaka.
Sembilan tahun lalu, sosok sholeh calon pendampingku berkata pada
ibu, "bu… saya punya ibu yang berbeda denganmu. Ibuku harus
berkarir karena keadaan menuntut hal itu, Saya tak pernah disusui, tak
pernah diajari sholat, puasa, bahkan mengaji, Saya tidak merasakan hal
yang sama seperti yang anak-anakmu rasakan. Maka saat ini ketika keadaan
saya sudah memahami cahaya Islam dengan baik, saya mohon supaya ibu
ridho jika istriku ini kelak tidaklah bekerja di kantor sesuai gelar
sarjananya, karena saya hanya ingin anak-anakku kelak tidak bernasib
sama sepertiku…", air mata mereka mengalir bersama, tidaklah semua
wanita berjiwa ‘IBU’, dan ibu mengangguk setuju serta meyakinkan calon
menantunya bahwa selama kepemimpinan kepala keluarga adalah sejalan
dengan aturan Allah SWT, maka sang istri harus menaatinya.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, "Kaum wanita datang
menghadap Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bertanya, ‘Ya
Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan
Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang dapat menyamai ’amal para
mujahidin di jalan Allah?’ Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam
bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian berdiam diri di rumahnya maka
sesungguhnya ia telah menyamai ’amal para mujahidin di jalan Allah’.”
(HR. Al-Bazzar)
Oh, ibu… syukurku padaNYA atas keberadaan ibu disisiku, hingga hari
ini masih terus mengajari banyak hal padaku, saat sosok lain runtuh,
maka engkau tetap kokoh dan teguh. Saat yang lain berbual, maka engkau
tetap memelihara kejujuran. Saat yang lain tergoda, maka engkau tetap
setia. Saat yang lain penuh prahara, maka dengan kesabaran dan
keikhlasan engkau perbaiki senyum mereka. Saat yang lain mengumbar
pengorbanan dan jasa, engkau malah hanya diam dan mengukir senyum
ikhlas. Selalu tercium aroma do’a malammu, selalu merindu nuraniku akan
pelukan hangatmu, semoga Allah SWT memberikan kekuatan padaku untuk
menjadi sosok ibu sejati sepertimu, amiin.
Sumber :
www.eramuslim.com
No comments:
Post a Comment